Hubungan Persaudaraan Suku Banjar dan Suku-suku Dayak
Sejak zaman dahulu telah terjadi hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan serta toleransi yang tinggi antara suku Banjar dan suku-suku Dayak.Perkawinan Sultan Banjar dengan Puteri-puteri Dayak
Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju dapat diketahui, isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai beretnis Dayak Ngaju. Sedangkan isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan Suku Dayak Maanyan, berasal dari etnis mereka. Jadi perempuan Dayaklah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada. Dalam Hikayat Banjar menyebutkan salah satu isteri Raja Banjar ketiga Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim putri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Mustainbillah. Putri Dayak berikutnya adalah isteri Raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah Al-Wazikoebillah (putera Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang putri Dayak berdarah campuran Tionghoa yaitu Nyai Dawang (Norpikriadi, Putri Dayak di Tanah Banjar, Opini Banjarmasin Post Sabtu, 21 Januari 2006).Sultan Muhammad Seman
Salah satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok Suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung Surapati. Hubungan kekerabatan sang pangeran melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati. Dari puteri Dayak ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru Belanda tahun 1905. Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya tiwah, yaitu upacara pemakaman secara adat Dayak (Norpikriadi, Putri Dayak di Tanah Banjar, Opini Banjarmasin Post, Sabtu 21 Januari 2006)(Kaharingan).Puteri Mayang Sari
Putri Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur adalah puteri dari Raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah) dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Maanyan. Walau Mayang Sari beragama Islam, dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadilmakmuran masyarakat Dayak di masanya. Itu sebabnya ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Adat Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur.(Marko Mahin, 2005)Perang Banjar
Eratnya persahabatan Banjar-Dayak, juga karena kedua suku ini terlibat persekutuan erat melawan Belanda dalam Perang Banjar. Setelah terdesak di Banjarmasin dan Martapura, Pangeran Antasari beserta pengikut dan keturunannya mengalihkan perlawanan ke daerah Hulu Sungai dan sepanjang sungai Barito sampai ke hulu Barito, dimana terdapat beragam etnis Dayak terlibat di dalamnya. Perang antara koalisi etnis Banjar bersama etnis Dayak di satu pihak versus Belanda dan antek-anteknya di pihak lain, sebagaimana watak peperangan pada umumnya, jauh lebih banyak duka daripada sukanya. Kedua suku serumpun ini sudah merasa bersaudara senasib sepenanggungan, dimana harta benda, jiwa raga, darah dan airmata sama-sama tumpah di tengah api perjuangan mengusir penjajah. Beberapa pahlawan perang Banjar dan perang Barito dari etnis Dayak :
- Tumenggung Surapati, meninggal 1904 dimakamkan di Puruk Cahu, Murung Raya
- Panglima Batur, dari suku Dayak Siang Murung dimakamkan di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin Utara, Banjarmasin
- Panglima Unggis, dimakamkan di desa Ketapang, Kecamatan Gunung Timang, Barito Utara
- Panglima Sogo, yang turut menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda 26 Desember 1859 di Lewu Lutung Tuwur, makamnya di desa Malawaken, Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
- Panglima Batu Balot (Tumenggung Marha Lahew), panglima wanita yang pernah menyerang Fort Muara Teweh tahun 1864-1865, makamnya di desa Malawaken (Teluk Mayang), Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara.
- Panglima Wangkang dari suku Dayak Bakumpai di Marabahan, putera dari Damang Kendet dan ibunya wanita Banjar dari Amuntai
- Perang Montallat tahun 1861 juga menyebabkan gugurnya dua putera Ratu Zaleha yang dimakamkan di desa Majangkan, kec. Gunung Timang, Barito Utara.