Senin, 25 Oktober 2010

persaudaraan suku banjar dan suku dayak

Hubungan Persaudaraan Suku Banjar dan Suku-suku Dayak

Sejak zaman dahulu telah terjadi hubungan persaudaraan dan ikatan kekeluargaan serta toleransi yang tinggi antara suku Banjar dan suku-suku Dayak.

Perkawinan Sultan Banjar dengan Puteri-puteri Dayak

Dari tradisi lisan suku Dayak Ngaju dapat diketahui, isteri Raja Banjar pertama yang bernama Biang Lawai beretnis Dayak Ngaju. Sedangkan isteri kedua Raja Banjar pertama yang bernama Noorhayati, menurut tradisi lisan Suku Dayak Maanyan, berasal dari etnis mereka. Jadi perempuan Dayaklah yang menurunkan raja-raja Banjar yang pernah ada. Dalam Hikayat Banjar menyebutkan salah satu isteri Raja Banjar ketiga Sultan Hidayatullah juga puteri Dayak, yaitu puteri Khatib Banun, seorang tokoh Dayak Ngaju. Dari rahim putri ini lahir Marhum Panembahan yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Mustainbillah. Putri Dayak berikutnya adalah isteri Raja Banjar kelima Sultan Inayatullah, yang melahirkan Raja Banjar ketujuh Sultan Agung. Dan Sultan Tamjidillah Al-Wazikoebillah (putera Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam) juga lahir dari seorang putri Dayak berdarah campuran Tionghoa yaitu Nyai Dawang (Norpikriadi, Putri Dayak di Tanah Banjar, Opini Banjarmasin Post Sabtu, 21 Januari 2006).

 Sultan Muhammad Seman

Salah satu sayap militer Pangeran Antasari yang terkenal tangguh dan setia, adalah kelompok Suku Dayak Siang Murung dengan kepala sukunya Tumenggung Surapati. Hubungan kekerabatan sang pangeran melalui perkawinannya dengan Nyai Fatimah yang tak lain adalah saudara perempuan kepala suku mereka, Surapati. Dari puteri Dayak ini lahir Sultan Muhammad Seman yang kelak meneruskan perjuangan ayahnya sampai gugur oleh peluru Belanda tahun 1905. Dalam masa perjuangan tersebut, Muhammad Seman juga mengawini dua puteri Dayak dari Suku Dayak Ot Danum. Puteranya, Gusti Berakit, ketika tahun 1906 juga mengawini putri kepala suku Dayak yang tinggal di tepi sungai Tabalong. Sebagai wujud toleransi yang tinggi, ketika mertuanya meninggal, Sultan Muhammad Seman memprakarsai diselenggarakannya tiwah, yaitu upacara pemakaman secara adat Dayak (Norpikriadi, Putri Dayak di Tanah Banjar, Opini Banjarmasin Post, Sabtu 21 Januari 2006)(Kaharingan).

Puteri Mayang Sari

Putri Mayang Sari yang berkuasa di Jaar-Singarasi, kabupaten Barito Timur adalah puteri dari Raja Banjar Islam yang pertama (Sultan Suriansyah) dari isteri keduanya Norhayati yang berdarah Dayak, cucu Labai Lamiah tokoh Islam Dayak Maanyan. Walau Mayang Sari beragama Islam, dalam memimpin sangat kental dengan adat Dayak, senang turun lapangan mengunjungi perkampungan Dayak dan sangat memperhatikan keadilmakmuran masyarakat Dayak di masanya. Itu sebabnya ia sangat dihormati dan makamnya diabadikan dalam Rumah Adat Banjar di Jaar, kabupaten Barito Timur.(Marko Mahin, 2005)



Perang Banjar
Eratnya persahabatan Banjar-Dayak, juga karena kedua suku ini terlibat persekutuan erat melawan Belanda dalam Perang Banjar. Setelah terdesak di Banjarmasin dan Martapura, Pangeran Antasari beserta pengikut dan keturunannya mengalihkan perlawanan ke daerah Hulu Sungai dan sepanjang sungai Barito sampai ke hulu Barito, dimana terdapat beragam etnis Dayak terlibat di dalamnya. Perang antara koalisi etnis Banjar bersama etnis Dayak di satu pihak versus Belanda dan antek-anteknya di pihak lain, sebagaimana watak peperangan pada umumnya, jauh lebih banyak duka daripada sukanya. Kedua suku serumpun ini sudah merasa bersaudara senasib sepenanggungan, dimana harta benda, jiwa raga, darah dan airmata sama-sama tumpah di tengah api perjuangan mengusir penjajah. Beberapa pahlawan perang Banjar dan perang Barito dari etnis Dayak :

 Dammung Sayu

Dammung Sayu merupakan seorang pemimpin masyarakat suku Dayak Maanyan Paju Sapuluh yang telah berjasa dalam membantu salah seorang kerabat raja Banjar yang bersembunyi di wilayahnya dari pengejaran pihak Belanda. Karena itu akhirnya Belanda membumihanguskan perkampungan suku ini yang terletak di Desa Magantis, Tamiang Layang, Dusun Timur, Barito Timur. Pihak kerajaan Banjar yang berjuang melawan penjajah Belanda mengangkat Dammung Sayu sebagai panglima dengan gelar Tumenggung dan memberikan seperangkat payung kuning dan perlengkapan kerajaan.

[sunting] Sangiang

Toleransi antara suku Banjar dan Dayak, juga dapat dilihat dari sastera suci suku Dayak Ngaju, Panaturan. Digambarkan disana, Raja Banjar (Raja Maruhum) beserta Putri Dayak yang menjadi isterinya Nyai Siti Diang Lawai adalah bagian leluhur orang Dayak Ngaju. Bahkan mereka juga diproyeksikan sebagai sangiang (manusia illahi) yang tinggal di Lewu Tambak Raja, salah satu tempat di Lewu Sangiang (Perkampungan para Dewa). Karena Sang Raja beragama Islam maka disana disebutkan juga ada masjid.(Marko Mahin, Urang Banjar, 2005)

[sunting] Balai Hakey

Secara sosiologis-antropologis antara etnis Banjar dan Dayak diibaratkan sebagai dangsanak tuha dan dangsanak anum (saudara tua dan muda). Urang Banjar yang lebih dahulu menjadi muslim disusul sebagian etnis Dayak yang bahakey (berislam), saling merasa dan menyebut yang lain sebagai saudara. Mereka tetap memelihara toleransi hingga kini. Tiap ada upacara ijambe, tewah dan sejenisnya, komunitas Dayak selalu menyediakan Balai Hakey, tempat orang muslim dipersilakan menyembelih dan memasak makanannya sendiri yang dihalalkan menurut keyakinan Islam.

 Intingan dan Dayuhan

Toleransi antara suku Banjar dengan suku Dayak Bukit di pegunungan Meratus di daerah Tapin di Kalimantan Selatan, juga dapat dilihat pada mitologi suku bangsa tersebut. Dalam pandangan mereka, Urang Banjar adalah keturunan dari Intingan (Bambang Basiwara), yaitu dangsanak anum (adik) dari leluhur mereka yang bernama Dayuhan (Ayuhan). Meskipun kokoh dengan kepercayaan leluhur, suku Dayak Bukit selalu menziarahi Masjid Banua Halat yang menurut mitologi mereka dibangun oleh Intingan, ketika saudara leluhur mereka tersebut memeluk agama Islam (Norpikriadi,Putri Dayak di Tanah Banjar,
ni buat bagi tau lo semua aja ye............

Cacak Burung

Dalam adat Banjar terdapat beberapa simbol-simbol yang berhubungan dengan alam kepercayaan atau upacara adat. Penggunaan simbol adat Banjar bisa berbentuk ukiran atau dilukiskan. Yang sangat umum dipakai oleh masyarakat setempat adalah simbol “CACAK  BURUNG”
Wujud dari simbol Cacak Burung ini sangat sederhana. Satu garis horizontal bersinggungan dengan satu garis vertikal, sehingga persis seperti tanda (+) dalam rumus matematika.
Bagian kiri dan kanan sama panjang demikian pula dengan bagian atas dan bawah. Karena keempat bagian hampir sama panjangnya dalam pelukisan atau ukiran maka tidak seperti tanda salib.
Simbol ini sering dipakai untuk  menolak roh jahat, menolak penyakit, menolak bala dan sebagainya.  Tanda ini dipercayai bisa memburu penyakit dan roh jahat untuk segera pergi.
Simbol ini bisa mudah terlihat di rumah Urang Banjar yang masih mengamalkannya, terutama apabila ada acara-acara besar. Misalnya untuk menangkal penyakit  supaya jangan menghinggapi makanan hidangan maka di panci-panci makanan dicoret dengan simbol ini.
Coretan biasanya menggunakan kapur atau janar/kunyit dicampur diparut dengan kapur.
Bisa juga orang yang sakit dada atau batuk maka di tenggorokan dan dadanya dicoret Cacak Burung. Simbol ini sering dipakai oleh para tetua Urang Banjar  dalam menyembuhkan ‘kapidaraan’ (penyakit karena kualat disebabkan berbagai hal gaib). Begitu juga agar rumah tidak diganggu roh jahat di tiang-tiangnya dicoret dengan Cacak Burung, dan masih banyak penggunaan lainnya.
Dari nama simbol ini kemungkinan berhubungan dengan kepercayaan mengenai dunia bawah dan dunia atas. Simbol Cacak diwakili garis horizontal merupakan lambang dunia bawah (kesatuan dari pohon hayat menurut kepercayaan Dayak) sedangkan simbol burung diwakili garis vertikal merupakan lambang dunia atas.
Garis horizontal dalam simbol Banjar diartikan sifat menangkis segala serangan (perisai) dan garis vertikal dalam simbol Banjar diartikan sifat melawan/menyerang segala pengganggu. Sehingga filsafat yang dimiliki simbol ini adalah alat yang mampu menangkis segala serangan dan gangguan sekaligus menyerang dan melawan balik musuh/roh jahat yang datang.
Nah, hebat sekali filsafat simbol yang dimiliki Urang Banjar. Rugi kita kalau sampai kehilangan arti dari lambang ini. Makna  MENANGKIS  KEMUDIAN  MELAWAN  bisa kita terapkan dalam menghadapi masalah yang datang dalam kehidupan sehari-hari agar Urang Banjar jangan gampang menyerah. Cangkal Bausaha, Dalas Balangsar Dada !
Kada Ulun Biarakan Budaya Banjar Hilang di Dunia !

Minggu, 24 Oktober 2010

untuk alm.kakek

saat rasa tak lagi merasa

saat pilu mulai tiba

saat jantung mulai bergetar

saat dada semakin berdebar



hari ini..

waktu seakan terhenti

saat melihat kamu

seakan tidur tapi kaku



semua limpahan air mata

iringi keberangkatanya

ke rumah baru

dan alam yang baru



tuhan.....

pedih ini tak tertahan

ku berharap

beri ia cahaya di rumah yg pengap



selamat jalan kakek

semua tentang mu

tak akan d binasakan waktu

MAHA

maha tuhan
telah memeberi kehidupan
yang maha hidup
datang bawa kematian

maha kekal
tak di datangi ajal
maha ajal
datang saat napas tersengal

maha luka
datang bersama cerita

maha.....
tuhan yang serba maha
bila maut ini tiba
maha izrail yang bawa kita

maha maut
tak buat aku takut
yang aku takut
cinta itu yang bawa rasa kalut
Komentari · SukaTidak Suka · Bagikan

luka ku

kutak tau mengapa rasa ini tiba
rasa cinta
mengapa rasa ini selalu membawa luka
mengapa hanya ada duka

cinta cinta cinta
letih aku memahaminya
tapi apa kau tahu cinta?
dirimu bagai berbisa

selau saja setiap dalam tidurku bayang mu datang
menghampiriku dan membawa terbang
tapi hanya bayangan mu
tak dapat ku kira siapa kamu.

thanks cinta
kamu telah memberi aku sedikit rasa cinta
walau berakhir luka
cinta aku kan tetap setia

suatu saat nanti
kau kan mengerti
bahwa hatiku
hanya untuk kamu

H A R I

ku coba tapaki hari
mengukir mimpi
ku coba mendaki
di puncak tinggi

tak mudah memang
mendaki di tengah gelap awan
tak mudah.........
bagai lampu temaram

aku tersesat
di tengah hutan yang tua
yang berselimut misteri
abadi

aku masih disini
tersesat
di hari gelap
di tengah asap

sesekali desau pohon tua.
mendirikan perasaan ngeri

aku masih disini
mencari jalan tuk mendaki
mungkin sampai akhir,
akhir dari perjalanku

aku akan tetap mendaki
mencari tempat tingi
dan
matahari

-FALDI-

DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949 chairil anwar

aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943

chairil anwar

tentang cinta

ku berlari mengejar cinta
penuh nafsu ku kejar saja
telah banyak derita
yang berselimut luka

ku kejar saja ia
sampai sampai ku terlena
tapi setelah ku rasa
cinta tak hanya tentang rasa

aku berlari
coba jauhi
tapi cinta ini
selalu hadir menghampir-hampiri

ku coba tuk pahami ia
tapi cinta
tak mudah untuk di pahami
saat aku tengah berlari

telah jauh aku berlari
tapi cinta ini
selalu datang tak kenal hari
ya...cinta ini

ini cinta
semua rasa
semua luka
tak mudah memahaminya

-faldi-